Oleh: Ustadz Abu Abdil Muhsin Firanda, Lc. –hafizhahullah–
Pertanyaan : Apakah benar bahwa hadits yang menjelaskan tentang disyari’atkannya puasa enam hari di bulan syawaal adalah hadits yang lemah?
Lantas jika disyari’atkan puasa enam hari di bulan syawaal, maka bagaimana dengan seorang wanita yang punya hutang puasa banyak sehingga bulan syawaal dihabiskan untuk menqodo hutang puasanya sehingga tidak sempat puasa syawwal kecuali dua hari? . Apakah boleh puasa syawwal terlebih dahulu baru kemudian mengqodho hutang puasa?
Jawab :
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّال كانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramdhan kemudian mengikutkannya dengan puasa enam hari di bulan syawwal maka seperti puasa sepanjang masa” (HR Muslim)
Hukum hadits ini
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya dari jalan Sa’d bin Sa’iid dari Umar bin Tsabit dari sahabat Abu Ayyuub Al-Anshoori.
Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits ini dari jalur yang sama di atas (lihat Musnad Al-Imam Ahmad 5/417 no 23580) demikian juga Abu Dawud (lihat sunan Abi Dawud 2/324 no 2433), At-Tirmidzi (lihat sunan At-Tirmidzi 3/132 no 759), dan Ibnu Majah (lihat sunan Ibni Majah 1/547 no 1716)
http://www.firanda.com/administrator/index.php?option=com_content§ionid=4&task=edit&cid[]=44
Sa’d bin Sa’iid adalah saudara kandung Yahya bin Sa’iid Al-Anshoori. At-Tirmidzi berkata, “Sebagian ulama mengkritik kredibilitas Sa’d bin Sa’iid dari sisi hapalannya” (sunan At-Tirmidzi 3/132, adapun perkataan para ulama al-jarh wat ta’diil tentangnya maka bisa meruju’ kitab Tahdziib at-Tahdziib 1/692). Adapun kesimpulan yang diambil oleh Ibnu Hajr tentangnya adalah : Shoduuq sayyiul hifzh = jelek hapalannya (lihat taqriib at-tahdziib 369)
Oleh karena hal ini sebagian ulama melemahkan hadits ini seperti Abul Khithoob Umar bin Dihyah –rahimahullah- sebagaimana dalam kitab beliau Al-‘Ilmul Masyhuur fi fadhoil al-ayyaam wasy syuhuur. Beliau berkata, “Hadits ini tidak shahih dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- karena jalur-jalur hadits ini berputar pada Sa’d bin Sa’iid dan dia adalah dho’iif jiddan (sangat lemah)) (lihat rof’ul isykaal ‘an shiyaam sittati ayyaam min syawwaal hal 20-217)
Yang benar hadits ini adalah hadits yang shahih, cukuplah tatkala Imam Muslim mengeluarkan hadits ini dalam shahihnya menunjukan bahwa beliau telah menshahihkan hadits ini.
Adapun pernyataan Abul Khithoob bahwa sanad hadits ini berputar pada Sa’d bin Sa’iid merupakan pernyataan yang tidak benar. Karena yang meriwayatkan hadits ini dari Umar bin Tsabit bukan hanya Sa’ad bin Sa’iid, jadi beliau tidak bersendirian, akan tetapi ada mutaaba’ah, yaitu ada dua perawi lain yang tsiqoh yang meriwayatkan juga dari Umar bin Tsabit. Kedua perawi tersebut adalah;
Pertama : Shofwan bin Sulaim yang beliau adalah perawi yang tsiqoh (lihat taqriib at-Tahdziib hal 453), sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud (lihat sunan Abi Dawud 2/324 no 2433) An-Nasaa’i (lihat Sunan An-Nasaa’i al-Kubro 2/163 no 2863) dan Ibnu Hibbaan (lihat shahih Ibni Hibbaan no 3634)
Kedua : Yahya bin Sa’iid bin Qois Al-Anshoori (Saudara kandung Sa’d bin Sa’iid), yang beliau adalah perawi yang tsiqoh juga (lihat taqriib At-Tahdziib hal 1056), sebagaimana diriwayatkan oleh An-Nasa’i (lihat Sunan An-Nasai Al-Kubro 2/164 no 2866) Dan disebutkan oleh Ad-Daruquthni dalam kitab ‘ilal beliau (lihat ‘Ilal Ad-Daaruquthni 6/108)
Dari sini jelas bahwa Sa’d bin Sa’iid tidak bersendirian dalam meriwayatkan hadits ini, sehingga jelas bagi kita bahwa hadits ini adalah hadits yang shahih.
Dan untuk penjelasan lebih penjang lebar tentang keshahihah hadits ini bisa merujuk pada kitab Rof’ul isykaal ‘an shiyaami sittah min syawwal, karya Abu Sa’iid Sholaahuddiin Kholil bin Kaykaldi al-‘alaai asy-Syaafi’i dan juga penjelasan Al-Imam Ibnul Qoyyim pada Hasyiah Sunan Abi Dawud (Dicetak bersama ‘Aunul Ma’buud, lihat 7/86-95)
Yang lebih menunjukan akan keshahihan hadits ini, ternyata hadits ini memiliki banyak syahid, yaitu hadits ini juga diriwayatkan dari sahabat-sahabat yang lain selain Abu Ayyub Al-Anshoori. Diantaranya Tsaubaan dan Abu Huroiroh –rodhiallahu ‘anhum-
Dari sini kita mengetahui bersama bahwasanya meskipun hadits yang dibawakan oleh Imam Muslim (demikian juga Imam Al-Bukhari) dalam shahihnya –seperti hadits yang sedang kita bahas ini- ternyata ada seroang perawi yang lemah –contohnya Sa’d bin Sa’iid- akan tetapi Imam Muslim tidaklah memasukan hadits tersebut dalam shahihnya kecuali setelah memeriksa hadits tersebut bahwasanya hadits tersebut ada mutaaba’ah dan syawahidnya.
Ibnul Qoyyim berkata, “Kita menerima lemahnya Sa’d bin Sa’iid, akan tetapi Imam Muslim berhujjah dengan hadits yang diriwayatkannya karena nampak bagi Imam Muslim bahwa Sa’d bin Sa’iid tidak salah dalam hadits yang ini karena ada qorinah (indikasi yang menunjukan akan hal itu) dan adanya mutaba’aat dan syawahid yang menunjukan akan tidak salahnya Sa’d bin Sa’iid dalam hadits ini. Meskipun Sa’d bin Sa’iid telah dikenal kesalahannya di selain hadits ini. Jadi kondisi seroang perawi yang salah dalam suatu hadits tidaklah menghalangi untuk berhujjah dengannya pada hadits yang nampak bahwasanya dia tidak salah (hapalannya) dalam hadits tersebut. Dan inilah hukum banyak hadits-hadits yang terdapat dalah shahih Al-Bukhari dan shahih Muslim yang dimana isnad-isnadnya ada perawi yang diperbincangkan kredibiltasnya dari sisi hapalannya. Sesungguhnya Imam Bukhari dan Imam Muslim tidaklah meriwayatkan haditsnya kecuali setelah mendapatkan adanya mutaba’ah bagi perawi tersebut” (Hasyiyah Sunan Abi Dawud, dicetak bersama ‘Aunul Ma’buud 7/90-91)
Fiqh Hadits
Maksud sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- كَصِيَامِ الدَّهْر “Seperti puasa sepanjang masa” maksudnya adalah puasa setahun penuh, karena kalau setiap tahun seseroang berpuasa Ramadhan dan enam hari dibulan syawwal maka seakan-akan ia berpuasa seumur hidupnya (lihat Adz-Dzakhiroh karya Al-Qoroofi 2/531). Hal ini sebagaimana dijelasakan dalam lafal yang lain dari hadits yang diriwayatkan dari sahabat Tsaubaan, dimana Nabi bersabda
من صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كان تَمَامَ السَّنَةِ { من جاء بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
Barangsiapa yang puasa enam hari setelah ‘idul fitri maka seperti berpuasa setahun penuh. Allah berfirman “Barangsiapa yang memebawa satu kebaikan maka baginya 10 kali lipat balasan kebaikan” (HR Ibnu Majah no 1715)
Dalam riwayat yang lain
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدِ الْفِطْرِ فَذَلِكَ تَمَامُ صِيَامِ السَّنَةِ
Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan maka satu bulan mendapat ganjaran sepuluh bulan, dan (ditambah) puasa enam hari setelah ‘iidul fitri maka hal itu seperti puasa selama setahun penuh (HR Ahmad 5/280 no 22465 dan An-Nasaai dal As-Sunan Al-Kubro no 2861, lihat juga hadits yang diriwayatkan dari Abu Huroiroh sebagaiamana diriwayatkan oleh At-Thobrooni dalam Al-Mu’jam Al-Aushoth 7/315 no 7607)
Bahkan dalam lafal yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya (2/298 no 2115) lebih diperjelas lagi. Nabi bersabda
صِيَامُ رَمَضَانَ بِعَشْرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ السِّتَّةِ أَيَّامٌ بِشَهْرَيْنِ فَذَلِكَ صِيَامُ السَّنَةِ
Puasa bulan Ramdhan ganjarannya seperti puasa sepuluh bulan dan puasa enam hari seperti puasa selama dua bulan, maka semuanya seperti puasa selama setahun penuh.
Maka sungguh besar ganjaran bagi orang yang berpuasa penuh di bulan Ramadhan kemudian menyertakannya dengan puasa enam hari di bulan syawaal, maka seakan-akan ia telah berpuasa selama setahun penuh. Bahkan sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa ganjarannya adalah seperti puasa wajib setahun penuh bukan puasa sunnah (lihat Haasyiyah I’aanatut Thoolibiin 2/268)
Diantara faedah penting dari puasa sunnah syawaal yaitu menyempurnakan kekurangan yang ada di puasa fardu di bulan Ramadan. Nabi bersabda
أن أَوَّلَ ما يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ يوم الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ الْمَكْتُوبَةُ فَإِنْ أَتَمَّهَا وَإِلَّا قِيلَ انْظُرُوا هل له من تَطَوُّعٍ فَإِنْ كان له تَطَوُّعٌ أُكْمِلَتْ الْفَرِيضَةُ من تَطَوُّعِهِ ثُمَّ يُفْعَلُ بِسَائِرِ الْأَعْمَالِ الْمَفْرُوضَةِ مِثْلُ ذلك
Sesungguhnya amalan seorang hamba muslim yang pertama kali dihisab pada hari qiyamat adalah sholat wajib. Jika sholatnya sempurna (maka akan dicatat pahalanya sempurna) dan jika kurang maka dikatakan, “Lihatlah apakah hambaku punya amalan-amalan sunnah?, kalau dia memiliki amalan-amalan sunnah maka sempurnakanlah bagi hambaku amalan wajibnya dengan amalan sunnahnya”. Dan demikian hal ini juga berlaku bagi seluruh amalan-amalan wajib (HR Abu Dawud 1/229 no 864, Ibnu Majah 1/458 no 1425, dan AN-Nasa’i dalam sunannya 1/233 no 466)
Cara berpuasa enam hari di bulan Syawwal
Agar keutamaan puasa enam hari di bulan Syawaal bisa diraih maka ada dua hal yang hendaknya diketahui
Pertama : Hendaknya puasa enam hari ini dikerjakan setelah selesai mengerjakan puasa Ramadhan, maka jika ada hutang puasa di bulan Ramadhan maka hendaknya diqodho terlebih dahulu. Maka tidak disyari’atkan puasa enam hari di bulan Syawwal sebelum mengqodho hutang puasa Ramdhannya.
Hal ini karena dalam lafal hadits Nabi mengatakan
“Barangsiapa yang berpuasa Ramdhan kemudian mengikutkannya dengan puasa enam hari di bulan syawwal maka seperti puasa sepanjang masa”
Dan kalimat (ثُمَّ) yang atrinya “Kemudian” menunjukan akan adanya tertib “urutan”. Jadi puasa enam hari di bulan Syawaal tidaklah dikerjakan kecuali setelah selesai mengerjakan puasa bulan Ramadhan. (lihat Majmu’ Fatawa wa Rosaail Syaikh Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin 20/18)
Bahkan sebagian ulama memandang jika seseorang berbuka puasa di bulan Ramadhan tanpa udzur maka tidak disyari’atkan baginya untuk berpuasa enam hari di bulan Syawwal.
Ar-Romli berkata, “banyak ulama yang berpendapat bahwa barangsiapa yang tidak berpuasa (penuh) di bulan Ramadhan karena ada udzur atau karena safar, atau karena masih kecil (belum baligh) atau karena gila atau karena kafir, maka tidak disunnahkan baginya untuk berpuasa enam hari di bulan Syawwal. Abu Zur’ah berkata, “Namun yang benar tidaklah demikian. Bahkan ia tetap mendapatkan asal pahala puasa enam hari –meskipun tidak mendapatkan seperti pahala yang disebutkan di hadits karena pahala tersebut diperoleh jika telah berpuasa Ramadhan secara penuh. Dan jika ia berbuka puasa di bulan Ramadhan karena melanggar (tanpa udzur) maka haram baginya untuk puasa enam hari di bulan Syawwal” (Nihaayatul Muhtaaj 3/208)
Kedua : Tidak mengapa dikerjakan secara berurutan atau terpisah-pisah.
Ibnu Qudamah berkata, “Tidak ada bedanya antara dikerjakannya puasa enam hari ini secara berurutan atau secara terpisah-pisah, baik di awal bulan Syawwal ataukah di akhir bulan, karena hadits datang secara mutlaq” (Al-Mughni 4/440)
Meskipun sebagian ulama memandang lebih utama dikerjakan puasa enam hari tersebut secara berurutan dan langsung segera setelah ‘iedul fithri karena hal ini merupakan bentuk kesegeraan dalam beramal sholeh, dan juga jika diakhirkan akan dikawatirkan timbulnya halangan-halangan (lihat Haasyiyah I’aantut Tholibiin 2/268, Mughniil Muhtaaj 1/448, dan Majmu’ Fatawa wa Rosaail Syaikh Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin 20/18 )
Khilaf Ulama
Para ulama telah berselisih apakah orang yang melaksanakan puasa enam hari di selain bulan syawwal karena udzur atau karena hal yang lain juga akan mendapatkan keutamaan yang sama seperti jika dikerjakan di bulan syawwal?
Pendapat pertama : Keutamaan puasa syawwal bisa diperoleh dengan berpuasa enam hari tersebut di bulan syawwal dan juga di bulan-bulan yang lainnya setelah syawwal, dan pahalanya tetap sama. Dan ini adalah madzhab Malikiah.
Adapun penyebutan bulan syawwal dalam hadits dibawakan pada makna
Pertama : hanya untuk meringankan dalam berpuasa.
Al-Qoroofi berkata, “Syari’at menentukan puasa enam hari dari bulan Syawwal untuk keringanan bagi mukallaf karena masih dekat dengan puasa (bulan Ramadhan). Namun tujuan tercapai meskipun puasanya di selain bulan Syawwal” (Adz-Dzakhiiroh 3/530)
Berkata Mahmud ‘Ulaisy, “Pengkhususan enam hari dari bulan Syawwal hanyalah untuk meringankan dan memudahkan karena ringannya seseroang berpuasa di bulan Syawwal karena sudah kebiasaan berpuasa di bulan Ramadhan” (Minahul Jalil Syarh Mukhtasor Sayyid Kholil 2/121)
Kedua : Penyebutan Syawaal hanya sebagai contoh saja, karena maksudnya adalah puasa enam hari seperti puasa dua bulan, kapan saja enam hari tersebut dilakukan.
Ibnul ‘Arobi berkata, “Meskipun seandainya puasa enam hari dikerjakan di selain bulan Syawwal maka hukumnya sama. Nabi menyebutkan bulan Syawwal bukan untuk penentuan waktu… akan tetapi hanya sebagai contoh saja” (Ahkaamul Qur’an 2/321)
Pendapat kedua : Barangsiapa yang berudzur sehingga tidak mampu untuk mengerjakan puasa enam hari di bulan Syawwal maka boleh baginya untuk mengqodhonya di bulan Dzulqo’dah, akan tetapi pahalanya lebih sedikit. Ini merupakan pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah.
Ad-Dimyaathi berkata, “Sabda Nabi “Seperti puasa sepanjang tahun”, maksudnya adalah seperti pahala puasa wajib sepanjang tahun. Kalau maksudnya bukan demikian maka tidak ada keistimewaan puasa enam hari di bulan Syawwal, karena barangsiapa setelah berpuasa Ramadhan lalu berpuasa enam hari di selain bulan Syawaal maka dia tetap akan mendapatkan ganjaran puasa sepanjang tahun, karena setiap kebaikan dibalas sepuluh kali lipatnya.
Intinya, barangsiapa yang setiap tahun berpuasa enam hari di bulan syawwal beserta puasa bulan Ramdhan maka dia seperti berpuasa wajib sepanjang masa… dan barang siapa yang berpuasa enam hari di selain bulan Syawwal maka seperti puasa sunnah sepanjang masa” (Haasyiyah I’aanatut Thoolibiin 2/268)
Pendapat ketiga : Tidak diperoleh pahala puasa setahun kecuali bagi orang yang berpuasa enam hari di bulan Syawwal. Ini adalah madzhab Hanabilah.
Berkata Al-Bahuuti, “Dan tidak diperoleh fadhilah (keutamaan) puasa enam hari tersebut jika dikerjakan di selain bulan Syawwal karena dzohirnya hadits-hadits” (Kasyful Qinaa’ 2/159)
Kesimpulan : Para ulama berbeda pendapat tentang apakah diperbolehkan melaksanakan puasa enam hari diselain bulan Syawaal dengan tetap mendapatkan keutamaannya?.
Namun barangsiapa yang hanya bisa puasa tiga hari –misalnya- di bulan Syawaal dan sisanya dia qodho di bulan Dzulqo’dah, atau sama sekali tidak bisa mengejakan keenam harinya kecuali di bulan Dzulqo’dah karena ada udzur, maka diharapkan ia juga mendapatkan pahala dan keutamaan puasa selama setahun penuh.
Syaikh Al-‘Utsaimin berkata, “Kita katakan kepada orang yang wajib mengqodho puasa bulan Ramadhan, “Qodho’lah puasa Ramadhanmu terlebih dahulu lalu kemudian berpuasalah enam hari di bulan Syawwal !!”. Jika bulan Syawwal telah berakhir sebelum selesai berpuasa enam hari, maka ia tidak mendapatkan keutamaan puasa Syawwal kecuali jika dikarenakan adanya udzur sehingga ia mengakhirkan pelaksanaan puasa Syawaal di luar bulan Syawwal” (lihat Majmu’ Fatawa wa Rosaail Syaikh Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin 20/18)
Peringatan 1
Sebagian orang memandang bahwa puasa enam hari di bulan Syawwal adalah bid’ah. Mereka berdalil dengan perkataan Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththo’ (1/311) tentang puasa enam hari setelah ‘iidul fitri : “Aku tidak melihat seorangpun dari kalangan ahli ilmu dan ahli fiqh yang berpuasa enam hari tersebut. Dan tidak sampai hal ini kepadaku dari seorangpun dari kalangan salaf, dan sesungguhnya ahlul ilmi membenci hal ini, mereka kawatir hal ini merupakan bid’ah dan mereka khawatir orang-orang yang jahil akan mengikutkan puasa yang bukan bagian dari puasa Ramadhan kepada puasa Ramadhan”
Para ulama mengomentari perkataan Imam Malik ini untuk menjawab maksud dari perkataan Imam Malik ini.
Diantara komentar mereka adalah
Pertama : Bisa jadi hadits tentang puasa enam hari di bulan Syawwal ini tidak sampai kepada Imam Malik. Ibnu Abdil Barr berkata, “Mungkin saja Imam Malik tidak mengetahui hadits ini. Kalau seandainya ia mengetahui hadits ini tentu dia akan memandang disyari’atkannya puasa enam hari di bulan Syawwal” ( Al-Istidzkaar 3/380). Kemungkinan inilah yang dikuatkan oleh As-Syinqithi dalam Adhwaaul Bayaan (7/363) karena hal ini merupakan dzohir dari perkataan Imam Malik “Dan tidak sampai hal ini kepadaku dari seorangpun dari kalangan salaf “.
Kedua : Maksud dari Imam Malik bukanlah membid’ahkan puasa enam hari di bulan Syawwal, akan tetapi beliau tetap memandang disyari’atkannya puasa enam hari di bulan Syawaal hanya saja beliau khawatir kalau dikerjakan puasa enam hari di bulan Syawwal maka orang-orang yang bodoh akan menyangka bahwa puasa enam hari tersebut termasuk rangkaian dari puasa bulan Ramdhan (lihat Al-Istidzkaar 3/379)
Peringatan 2 :
Sebagian orang memahami bahwa hadits ini menunjukan akan disyari’atkannya puasa setiap hari selama setahun penuh (365 hari), karena Rasulullah menyamakan orang yang berpuasa selama bulan Ramadhan dan ditambah enam hari di bulan syawwal sama pahalanya seperti puasa selama setahun penuh.
Hal ini tidaklah tepat dari beberapa sisi;
Pertama : Hal ini tidaklah merupakan kelaziman, perumpamaan dengan sesuatu perkara yang dipermisalkan tidak melazimkan bolehnya perkara tersebut. (lihat fathul baari 4/223). Sebagai contoh dalam suatu Hadits Nabi bersabda,
مَنْ صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قيام الليلة
“Barangsiapa yang sholat (Tarwih atau qiyamul lail) bersama imam sampai sang imama selesai maka akan dicatat baginya pahala sholat semalam suntuk”.
Hadits ini tidaklah menunjukan akan bolehnya sholat semalam suntuk dari ba’da isyaa’ langsung hingga subuh setiap hari tanpa tidur, karena Nabi telah menegur seorang sahabat yang berkata, “Aku akan sholat malam terus dan tidak tidur”, dengan perkataan beliau –shllallahu ‘alaihi wa salaam”, “Adapun aku maka aku sholat malam dan aku tidur… dan barangsiapa yang benci dengan sunnahku maka bukan dari golonganku”
Kedua : Puasa dahr (setahun penuh tanpa berbuka) menyelisihi petunjuk Nabi. Nabi pernah menegur seseorang yang berkata, “Aku akan berpuasa terus tanpa berbuka” dengan perkataan beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Aku puasa dan aku berbuka… dan barangsiapa yang benci dengan sunnahku maka bukan dari golonganku”
Ketiga : Nabi bersabda kepada Abdullah bin ‘Amr,
صُم يوماً وأفطر يوماً، فذلك صيام داود عليه السلام، وهو أفضل الصيام
“Puasalah sehari dan berbukalah sehari, itulah puasa Nabi Dawud –’alaihis salam- dan ini adalah puasa yang paling afdhol”
Hadits ini menunjukan bahwa puasa Dawud adalah yang paling utama bukan puasa dahr, kalau puasa dahr disyari’atkan tentunya puasa dahrlah yang lebih afdhol
Keempat : Sabda Nabi yang tegas, لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الأَبَدَ “Tidaklah berpuasa orang yang puasa selama-lamanya”
Kelima : Puasa dahr bertentangan dengan agama islam yang memperhatikan keseimbangan dan perhatian terhadap hak tubuh dan hak keluarga, sebagaimana perkataan Salman kepada Abu Ad-Dardaa’ dan perkataannya ini dibenarkan oleh Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam
إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حقًَّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حقًّا، وَلأهْلِكَ عَلَيْكَ حقاً، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
Sesungguhnya Robmu memliki hak yang harus engkau tunaikan, edmikian juga dirimu punya hak, keluargamu juga punya hak, maka berikanlah kepada setiap yang memiliki hak haknya (Lihat Minhatul ‘Allaam syarh Bulugul Maroom 1/91)
Kota Nabi 28 Ramadhan 1431 H (7 september 2010)
Di susun oleh Abu Abdil Muhsin Firanda
Artikel www.firanda.com
Kitab-kitab rujukan
- Rof’ul isykaal ‘an shiyaami sittah min syawwal, Abu Sa’iid Sholaahuddiin Kholil bin Kaykaldi al-‘alaai asy-Syaafi’i, tahqiq Sholaah bin ‘Aayidl, Daar Ibni Hazm, cetakan pertama (1415 H-1994 M)
- Taqriib at-Tahdziib, Ibnu Hajr al-“asqolaani, tahqiq Abul Asybaal, Daarul ‘Aashimah
- Tahdziib At-Tahdziib, Ibnu Hajr al-‘Asqolaani, tahqiq Ibrahim Az-Zaibaq dan ‘Aadil Mursyid, Muassasah Ar-Risaalah, cetakan pertama (1416 H-1996 M)
- Al-‘Ilal Al-Waaridah fi Al-Ahaadiits An-Nabawiyyah, Ad-Daaruquthni, tahqiq Mahfuudzurrohmaan As-Salafi, Daar Thoibah, cetakan pertama (1405 H-1985 M)
- Al-Mughni, Ibnu Qudamah, tahqiq : Doktor Abdulloh bin Abdilmuhsin At-Turki dan Doktor Abdul Fattah Muhammad, Daar ‘Aalamul Kutub, cetakan ketiga (1417 H-1997 M)
- Kasyful Qinaa’ ‘an matnil Iqnaa’, Manshur bin Yunus bin Idris Al-bAhuuti, tahqiq : Muhamad Amiin Ad-Dlinnaawi, ‘Aalam al-Kutub, cetakan pertama (1417 H-1997 M)
- Adhwaaul Bayaan fi iidhoohil Qur’an bil Qur’an, Muhammad Al-Amiin As-Syinqiithi, tahqiq : Maktab al-buhuuts wad diroosaat, Daarul Fikr
- Al-Istidzkaar Al-Jaami’ li madzaahibi fuqohaail Amshoor, Abu Umar Yusuf bin Abdillah bin Abdil Barr An-Namari Al-Qurthubi, tahqiq : Salim Muhammad ‘Athoo dan Muhammad Ali Mua’wwadh, Darul Kutub al-Ilmiyyah
- Majmu’ Fatawa wa Rosaail Syaikh Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin, jam’ wa tartiib : Fahd bin Naashir bin Ibroohiim As-Sulaimaan, Daar At-Tsuroyyaa
- Adz-Dzakhiiroh, Syihaabuddin Ahmad bin Idris Al-Qoroofi, tahqiq : Muhammad Hujai, Daarul Gorb (1994 M)
- Hasyiyah I’aanatit Thoolibiin ‘ala hilli Alfaadz Fathil Mu’iin li Syarh Qurrotil ‘Ain bi Muhimmaatid Diin, Muhammad Syathoo Ad-Dimyaathi, Daarul Fikr
- Fathul Baari bi Syarh Shahihil Bukhari, Ibnu Hajr Al-‘Asqolaani, tahqiq Muhibbuddiin Al-Khothiib, Daarul Ma’rifah
- Nihaayatul Muhtaaj ilaa syarhil Minhaaj, Ar-Romli, Daarul Fikr (1404 H-1984 M)
- Minahul Jalil Syarh Mukhtasor Sayyid Kholiil, Muhammad ‘Ulaisy, Daarul Fikr (1409 H-1989 M)
- Ahkaamul Qur’an, Abu Bakr Muhammad bin Abdillah bin Al-‘Arobi, tahqiq : Muhammad bin Abdil Qoodir ‘Atoo, Daarul Fikr